Pekanbaru | Proyek Swakelola adalah salah satu cara untuk memperoleh Barang /Jasa (terutama dalam konteks Pengadaan Barang /Jasa Pemerintah) dimana pekerjaannya direncanakan, dikerjakan, dan /atau diawasi sendiri oleh pihak yang bertanggung jawab atas anggaran.
Berikut adalah jabaran lebih lanjut mengenai proyek swakelola:
1. Definisi dan Konsep Dasar
Swakelola secara harfiah berasal dari kata swa (sendiri) dan kelola (mengatur), yang berarti mengelola sendiri.
Dalam konteks pengadaan, Swakelola adalah cara memperoleh barang/jasa yang dikerjakan sendiri oleh:
Kementerian/Lembaga/Perangkat Daerah (K/L/PD) penanggung jawab anggaran.
Kementerian/Lembaga/Perangkat Daerah lain.
Organisasi Kemasyarakatan (Ormas).
Kelompok Masyarakat.
2. Tujuan Swakelola
Swakelola seringkali dipilih untuk pekerjaan yang:
Bertujuan untuk meningkatkan kemampuan dan/atau memanfaatkan kemampuan teknis sumber daya manusia K/L/PD, serta sesuai dengan tugas dan fungsi instansi.
Membutuhkan partisipasi langsung masyarakat atau untuk kepentingan langsung masyarakat.
Bersifat rahasia atau tidak dapat dilakukan oleh Pelaku Usaha pada umumnya.
Memaksimalkan potensi sumber daya setempat dengan semangat gotong royong.
3. Tipe-Tipe Swakelola
Peraturan Presiden tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
Swakelola dibagi menjadi beberapa tipe berdasarkan siapa pelaksana pekerjaannya:
Tipe Swakelola Pelaksana Pekerjaan Rencana & Pengawasan Keterangan Singkat
Tipe I K/L/PD
Penanggung Jawab Anggaran Oleh K/L/PD Penanggung Jawab Anggaran sendiri. Dilakukan oleh instansi pemilik anggaran, menggunakan pegawai sendiri atau ditambah tenaga ahli.
Tipe II K/L/PD
Lain Pelaksana Swakelola Direncanakan dan diawasi oleh K/L/PD Penanggung Jawab Anggaran. Instansi lain yang memiliki kompetensi teknis yang dibutuhkan melaksanakan pekerjaan berdasarkan kontrak.
Tipe III Organisasi Kemasyarakatan (Ormas)
Direncanakan dan diawasi oleh K/L/PD Penanggung Jawab Anggaran. Melibatkan Ormas yang memiliki kompetensi untuk barang/jasa yang diswakelolakan.
Tipe IV Kelompok Masyarakat
Direncanakan oleh K/L/PD Penanggung Jawab Anggaran, dilaksanakan dan diawasi oleh Kelompok Masyarakat. Melibatkan kelompok masyarakat yang dianggap mampu melaksanakan pekerjaan (misalnya perbaikan infrastruktur sederhana di lingkungan desa).
4. Tahapan Pelaksanaan Swakelola
Secara umum, pelaksanaan Swakelola meliputi:
Perencanaan: Meliputi penetapan sasaran, penyusunan spesifikasi teknis/Kerangka Acuan Kerja (KAK), jadwal pelaksanaan, dan Rencana Anggaran Biaya (RAB).
Persiapan: Pembentukan Tim Penyelenggara Swakelola (Tim Persiapan, Tim Pelaksana, Tim Pengawas).
Pelaksanaan: Melakukan pekerjaan sesuai rencana, pengadaan material/bahan/tenaga ahli jika diperlukan, serta pencatatan kemajuan pekerjaan dan keuangan.
Pengawasan: Pemantauan terhadap jadwal, mutu, dan penyerapan anggaran.
Serah Terima Hasil Pekerjaan: Penyerahan hasil pekerjaan dari Tim Pelaksana kepada Pejabat Pembuat Komitmen (PPK).
Pelaporan dan Pertanggungjawaban: Penyusunan laporan seluruh kegiatan dan penggunaan anggaran.
SUMBER DANA
Dana untuk proyek swakelola, terutama dalam konteks Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah di Indonesia, berasal dari anggaran yang dikelola oleh Kementerian/Lembaga/Perangkat Daerah (K/L/PD) penanggung jawab anggaran.
Secara spesifik, sumber dana proyek swakelola adalah:
1. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)
Dana Proyek Swakelola merupakan bagian dari alokasi anggaran K/L/PD yang telah ditetapkan dalam Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) untuk tingkat pusat (APBN) atau Dokumen Pelaksanaan Anggaran (DPA) untuk tingkat daerah (APBD).
Kegiatan swakelola sudah direncanakan dan dianggarkan sejak awal dalam Rencana Kerja dan Anggaran (RKA) K/L/PD yang bersangkutan.
2. Mekanisme Pencairan Dana
Meskipun sumbernya adalah APBN/APBD, mekanisme pencairan dan penggunaannya disesuaikan dengan tipe swakelola:
Swakelola Tipe I (Pelaksana K/L/PD Sendiri):
Dana dikelola sepenuhnya oleh K/L/PD penanggung jawab anggaran.
Pembayaran untuk bahan/material, upah tenaga kerja (harian atau borongan), gaji tenaga ahli (jika ada), dan biaya operasional lainnya dilakukan langsung oleh K/L/PD tersebut melalui mekanisme keuangan negara (misalnya menggunakan Uang Persediaan/Uang Muka Kerja).
Swakelola Tipe II (Pelaksana K/L/PD Lain) dan Tipe III (Pelaksana Organisasi Kemasyarakatan/Ormas):
Dana disalurkan dari K/L/PD penanggung jawab anggaran kepada K/L/PD lain atau Ormas berdasarkan Kontrak Kerja Sama yang telah disepakati.
K/L/PD lain atau Ormas tersebut kemudian bertanggung jawab untuk menggunakan dana tersebut sesuai dengan Rencana Anggaran Biaya (RAB) dan KAK yang ditetapkan.
Swakelola Tipe IV (Pelaksana Kelompok Masyarakat):
Dana disalurkan dari K/L/PD penanggung jawab anggaran kepada Kelompok Masyarakat berdasarkan Kontrak atau perjanjian.
Penyaluran dana ini sering dilakukan secara bertahap (misalnya 40%, 30%, 30%) berdasarkan kesiapan pelaksanaan dan kemajuan pekerjaan yang telah dicapai, untuk menjamin akuntabilitas.
Pada intinya, K/L/PD penanggung jawab anggaran adalah pemilik dan pengelola dana utama, dan merekalah yang bertanggung jawab penuh atas seluruh anggaran yang digunakan dalam proyek swakelola tersebut, terlepas dari siapa pihak pelaksananya.
DANA NEGARA
Dalam konteks Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah di Indonesia, sumber utama dana untuk proyek swakelola adalah uang dari negara, yaitu:
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN): Digunakan untuk proyek-proyek yang dilaksanakan oleh Kementerian, Lembaga (non-kementerian), atau Instansi Pusat lainnya.
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD): Digunakan untuk proyek-proyek yang dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah, seperti Provinsi, Kabupaten, atau Kota (melalui Perangkat Daerah/Dinas).
Proyek swakelola adalah bagian dari kegiatan yang telah direncanakan dan dialokasikan anggarannya secara resmi dalam dokumen anggaran instansi penanggung jawab (DIPA/DPA).
Meskipun pelaksananya bisa berupa instansi lain, organisasi masyarakat, atau kelompok masyarakat (Swakelola Tipe II, III, dan IV), dana dasarnya tetap berasal dari kas negara/daerah yang ditransfer oleh instansi penanggung jawab anggaran (K/L/PD).
SANKSI DAN HUKUMAN PENYALAHGUNAAN UANG NEGARA
Sanksi atas pelanggaran dalam proyek swakelola sangat bervariasi tergantung pada jenis pelanggaran, pihak yang melanggar, dan tingkat kerugian yang ditimbulkan. Karena proyek swakelola menggunakan dana negara (APBN/APBD), sanksi yang dikenakan bisa sangat berlapis.
Berikut adalah kategori sanksi yang mungkin dikenakan:
1. Sanksi Administratif (diatur dalam Peraturan LKPP)
Sanksi ini dikenakan oleh Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) kepada Penyelenggara Swakelola (Tim Persiapan, Tim Pelaksana, atau Tim Pengawas) atau Pelaksana Swakelola (Instansi lain, Ormas, Kelompok Masyarakat) jika terjadi pelanggaran terkait pelaksanaan pekerjaan.
Bentuk Sanksi Administratif Utama:
Pembatalan sebagai Pelaksana Swakelola: Ini adalah sanksi utama yang dapat dikenakan kepada pelaksana swakelola (Tipe II, III, dan IV) jika terjadi pelanggaran serius dalam penyelenggaraan pekerjaan.
Sanksi Ganti Kerugian (Ganti Rugi): Dikenakan jika terjadi kekurangan volume atau kualitas pekerjaan yang menyebabkan kerugian bagi instansi penanggung jawab anggaran.
Sanksi Denda: Dikenakan jika terjadi keterlambatan penyelesaian pekerjaan sesuai jadwal yang ditetapkan dalam kontrak/kesepakatan.
Sanksi Disiplin (untuk Pegawai ASN/PNS): Jika pelanggaran dilakukan oleh pegawai internal (Swakelola Tipe I) atau penyelenggara dari K/L/PD, mereka bisa dikenakan sanksi disiplin sesuai Peraturan Pemerintah tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil.
2. Sanksi Perdata (Berdasarkan Kontrak)
Untuk Swakelola Tipe II, III, dan IV yang melibatkan Kontrak Kerja Sama (atau Kontrak Swakelola), pelanggaran yang dilakukan Pelaksana Swakelola dapat dikenakan sanksi berdasarkan ketentuan yang tertuang dalam kontrak tersebut, meliputi:
Pemutusan Kontrak secara Sepihak: Jika Pelaksana Swakelola tidak melaksanakan kewajiban atau gagal memenuhi target pekerjaan.
Pencairan Jaminan: Jika kontrak memerlukan adanya jaminan pelaksanaan, jaminan tersebut dapat dicairkan.
3. Sanksi Pidana (Tindak Pidana Korupsi)
Ini adalah sanksi paling berat dan akan dikenakan jika pelanggaran yang terjadi terbukti mengandung unsur tindak pidana yang merugikan keuangan negara, seperti:
Jenis Pelanggaran Pidana Bentuk Sanksi Pidana
Penyelewengan Dana/Penyalahgunaan Anggaran (misalnya memanipulasi laporan keuangan, mark-up harga bahan/material, atau pengeluaran fiktif). Hukuman Penjara dan/atau Hukuman Denda (sesuai UU Tindak Pidana Korupsi).
Penyuapan atau Gratifikasi (terutama kepada Tim Penyelenggara/PPK). Hukuman Penjara dan/atau Hukuman Denda.
Kerugian Negara (adanya selisih antara nilai yang dibayarkan dengan hasil pekerjaan di lapangan). Pelaku diwajibkan Mengembalikan Kerugian Negara.
Pemalsuan Dokumen (misalnya memalsukan bukti pembelian atau daftar hadir tenaga kerja). Hukuman Penjara (sesuai KUHP atau UU terkait).
Pelanggaran dalam proyek swakelola tidak hanya berujung pada kegagalan proyek, tetapi juga memiliki konsekuensi hukum yang serius, terutama karena melibatkan dana publik.
PERAN APARAT DAN MEDIA
Peran aparat penegak hukum (APH) dan media dalam proyek swakelola sangat penting, terutama dalam konteks pengawasan penggunaan dana negara dan menjamin akuntabilitas.
Peran Aparat Penegak Hukum (APH)
Peran APH, yang meliputi Polisi, Jaksa, dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), adalah memastikan bahwa seluruh proses swakelola bebas dari penyimpangan dan tindak pidana korupsi.
Pencegahan dan Pengawasan: APH, khususnya Kejaksaan, seringkali dilibatkan dalam tahap awal proyek strategis melalui Tim Pengawal dan Pengamanan Pemerintahan dan Pembangunan (TP4) (meskipun TP4 sudah dibubarkan, fungsi pengawasan oleh APH masih berjalan melalui mekanisme koordinasi dan supervisi) untuk memberikan pendampingan hukum. Tujuannya adalah mencegah terjadinya penyimpangan sejak perencanaan.
Penindakan Hukum: APH akan menindaklanjuti temuan penyimpangan, khususnya yang berindikasi kerugian negara atau tindak pidana korupsi (TPK), berdasarkan laporan hasil audit BPK/BPKP atau laporan masyarakat. Penindakan ini meliputi penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan penahanan pelaku yang terbukti melakukan:
Mark-up anggaran atau pengeluaran fiktif.
Penyelewengan Dana Swakelola
Penyalahgunaan wewenang oleh pejabat yang terlibat.
Memulihkan Kerugian Negara: Melalui proses hukum, APH berusaha memulihkan kerugian keuangan negara yang diakibatkan oleh TPK dalam proyek swakelola tersebut.
Peran Media
Peran media, termasuk media massa konvensional dan media sosial, berfokus pada fungsi kontrol sosial dan transparansi.
Kontrol Sosial dan Pengawasan Publik: Media berperan sebagai mata dan telinga masyarakat untuk mengawasi pelaksanaan proyek swakelola, terutama Swakelola Tipe III (Ormas) dan Tipe IV (Kelompok Masyarakat) yang melibatkan partisipasi langsung publik.
Penyebarluasan Informasi: Media memberitakan tahapan proyek, mulai dari perencanaan, pelaksanaan, hingga hasilnya. Hal ini mendorong transparansi karena informasi anggaran dan kemajuan proyek menjadi konsumsi publik.
Mengungkap Penyimpangan: Media memiliki peran investigatif untuk mengungkap dugaan praktik Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) atau ketidaksesuaian antara anggaran dengan hasil fisik proyek. Liputan investigatif dapat menjadi pemicu bagi APH atau Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) untuk melakukan audit atau penyelidikan.
Edukasi Masyarakat: Media membantu mengedukasi masyarakat, khususnya kelompok pelaksana swakelola (pokmas/ormas), mengenai hak, kewajiban, dan tata kelola dana negara yang benar, sehingga potensi penyimpangan akibat ketidaktahuan dapat diminimalisir.
Secara keseluruhan, APH berfungsi sebagai penjaga hukum, memastikan sanksi dan akuntabilitas dipenuhi; sementara media berfungsi sebagai penjaga informasi, memastikan proyek dilaksanakan secara terbuka dan dapat diakses oleh publik.
KEWAJIBAN PELAKSANA TERHADAP PUBLIK
Untuk mewujudkan transparansi dan akuntabilitas dalam penggunaan dana negara, data terkait proyek swakelola wajib diumumkan dan dapat diakses oleh publik.
Berikut adalah data-data utama proyek swakelola yang bisa dan seharusnya dapat diakses:
1. Data Perencanaan (Melalui SiRUP)
Semua rencana pengadaan barang/jasa pemerintah, termasuk swakelola, wajib diinput ke dalam Sistem Informasi Rencana Umum Pengadaan (SiRUP) milik Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP). Data yang dapat diakses di SiRUP meliputi:
Nama Kegiatan/Paket Swakelola: Judul dan deskripsi singkat pekerjaan.
Pagu Anggaran: Jumlah dana total yang dialokasikan untuk proyek swakelola tersebut (berasal dari APBN/APBD).
Jenis Swakelola: Tipe Swakelola yang digunakan (Tipe I, II, III, atau IV).
Instansi Penanggung Jawab Anggaran: Kementerian/Lembaga/Perangkat Daerah yang memiliki dana.
Jadwal Pelaksanaan: Perkiraan waktu pelaksanaan (tahun anggaran).
2. Dokumen Persiapan dan Pelaksanaan
Dokumen-dokumen teknis dan legalitas proyek harusnya dapat diakses (setidaknya sebagian) oleh pihak yang berkepentingan untuk tujuan pengawasan:
Kerangka Acuan Kerja (KAK) / Term of Reference (ToR): Dokumen yang menjelaskan tujuan, ruang lingkup, keluaran (output), dan kebutuhan sumber daya proyek.
Rencana Anggaran Biaya (RAB): Rincian estimasi biaya untuk upah, bahan, peralatan, dan biaya lain yang dibutuhkan.
Model Kontrak Swakelola: Untuk Tipe II, III, dan IV, dokumen kontrak kerja sama antara PPK dengan pelaksana swakelola (Instansi Lain/Ormas/Pokmas) wajib ada dan mencantumkan hak dan kewajiban masing-masing pihak.
Surat Keputusan (SK) Tim Penyelenggara: SK yang menunjuk Tim Persiapan, Tim Pelaksana, dan Tim Pengawas.
3. Data Hasil dan Pertanggungjawaban
Setelah proyek selesai, data pertanggungjawaban sangat krusial:
Laporan Kemajuan Pekerjaan: Laporan berkala (harian, mingguan, bulanan) yang mencatat kemajuan fisik dan penyerapan keuangan.
Berita Acara Serah Terima Hasil Pekerjaan (BASTHP): Dokumen resmi yang menyatakan bahwa pekerjaan telah selesai 100% dan diterima oleh Pejabat Pembuat Komitmen (PPK).
Laporan Pertanggungjawaban Keuangan: Bukti-bukti pengeluaran (kuitansi, faktur, daftar upah) yang menunjukkan penggunaan dana telah sesuai dengan RAB.
Foto/Dokumentasi Proyek: Bukti visual hasil pekerjaan yang telah diselesaikan.
Cara Mengakses Data Swakelola
Publik dapat mengakses data-data ini melalui jalur-jalur berikut:
SiRUP LKPP: Untuk data perencanaan (nama paket dan pagu anggaran).
Situs Web Resmi Instansi: Banyak K/L/PD mempublikasikan ringkasan informasi dan laporan proyek di website atau laman Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE) mereka.
Mekanisme Keterbukaan Informasi Publik (KIP): Jika data spesifik (misalnya rincian RAB atau BASTHP) tidak tersedia secara online, masyarakat berhak mengajukan permohonan informasi kepada Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID) di instansi terkait ATAU LANGSUNG DARI PELAKSANA KEGIATAN. Instansi dan Pelaksana Kegiatan wajib memberikan data tersebut selama tidak dikategorikan sebagai informasi yang dikecualikan (misalnya data pribadi atau rahasia negara).
JERAT HUKUM KETIDAKTERBUKAAN INFORMASI
Jerat hukum bagi instansi atau pelaksana kegiatan swakelola yang tidak terbuka atau menolak memberikan informasi yang wajib dibuka oleh publik diatur dalam dua ranah hukum utama:
1. Ranah Hukum Administratif dan Pengadaan
Jerat hukum ini fokus pada pelanggaran terhadap peraturan pengadaan barang/jasa dan akuntabilitas internal pemerintah.
Pelanggaran Jerat Hukum/Sanksi Dasar Hukum
Gagal Melaporkan
Pertanggungjawaban Sanksi administratif (misalnya pemotongan termin pembayaran) dan kewajiban mengembalikan dana yang tidak dapat dipertanggungjawabkan. Peraturan LKPP tentang Pedoman Swakelola; Kontrak Swakelola.
Tidak Mengumumkan Rencana Pengadaan Pelaksana swakelola wajib mengumumkan Rencana Umum Pengadaan (RUP) di SiRUP. Jika tidak, proses pengadaan bisa dianggap cacat administrasi.
Peraturan Presiden tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.
Sanksi Disiplin (untuk ASN) Jika ketidakterbukaan dilakukan oleh Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang bertindak sebagai PPK, Tim Swakelola, atau Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID), mereka dapat dikenakan sanksi kepegawaian. Peraturan Pemerintah tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil.
2. Ranah Hukum Keterbukaan Informasi Publik (KIP)
Ketidakterbukaan informasi publik secara eksplisit diatur dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP).
Pelanggaran Jerat Hukum/Sanksi Dasar Hukum
Menghambat atau Tidak Memberikan Informasi Publik Wajib Buka Jika Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID) atau atasan PPID menolak memberikan informasi yang wajib diumumkan (serta-merta dan tersedia setiap saat), setelah melalui putusan Komisi Informasi (KI), pejabat yang bersangkutan dapat dikenakan sanksi pidana ringan. Pasal 52 UU KIP
Sanksi Pidana Ringan Pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 5.000.000,00 (lima juta rupiah). Pasal 52 UU KIP.
Kaitan dengan Tindak Pidana Korupsi
Meskipun ketidakterbukaan informasi itu sendiri dikenakan sanksi ringan dalam UU KIP, tindakan tersebut seringkali menjadi indikasi awal adanya penyimpangan yang lebih besar, yaitu Tindak Pidana Korupsi (TPK).
Ketika pelaksana kegiatan (seperti PPK atau Tim Pelaksana) menolak membuka data RAB atau laporan keuangan, hal ini memicu kecurigaan bahwa:
Terdapat penyalahgunaan wewenang.
Terdapat manipulasi data atau pengeluaran fiktif.
Terdapat kerugian keuangan negara (misalnya mark-up atau volume fiktif).
Jika ketidakterbukaan informasi terbukti berkaitan dengan upaya menutupi TPK (seperti penyelewengan dana swakelola), maka pelaku akan dikenakan jerat hukum yang jauh lebih berat berdasarkan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi.
RESIKO BAGI PELAKSANA YANG TIDAK KOOPERATIF
Tindakan yang dapat dikenakan kepada kepala sekolah yang tidak kooperatif, terutama yang berstatus sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN) /Pegawai Negeri Sipil (PNS), dapat dikelompokkan menjadi tiga kategori utama, bergantung pada sifat ketidakkooperatifan tersebut:
1. Sanksi Kepegawaian (Disiplin ASN)
Jika kepala sekolah menolak untuk memberikan data, menghambat pengawasan, atau tidak menindaklanjuti rekomendasi audit/temuan, ia melanggar kewajiban sebagai ASN.
Sifat Pelanggaran Jenis Hukuman Disiplin Dasar Hukum
Menghambat Pengawasan/Audit Hukuman Disiplin Sedang atau Berat. Contoh: Menolak memberikan dokumen pertanggungjawaban dana BOS/Swakelola. PP No. 94 Tahun 2021 tentang Disiplin PNS.
Penyalahgunaan Wewenang Hukuman Disiplin Berat (termasuk penurunan pangkat, pemberhentian dari jabatan, atau pemberhentian tidak dengan hormat). Contoh: Sengaja menahan informasi untuk menutupi penyimpangan. PP No. 94 Tahun 2021.
Tidak Mentaati Ketentuan Jam Kerja /Masuk Kerja Hukuman Disiplin Ringan hingga Berat. (Sebagai penanggung jawab, ketidakkooperatifan sering disamakan dengan kelalaian tugas). PP No. 94 Tahun 2021.
Tindakan: Atasan langsung kepala sekolah (misalnya Kepala Dinas Pendidikan) wajib melakukan pemeriksaan dan menjatuhkan sanksi disiplin secara berjenjang.
2. Sanksi Keterbukaan Informasi Publik (KIP)
Jika ketidakkooperatifan berupa penolakan untuk memberikan dokumen pengadaan/swakelola (seperti Rencana Anggaran Biaya/RAB dan Laporan Pertanggungjawaban) yang diminta oleh masyarakat/media melalui jalur resmi:
Sifat Pelanggaran Sanksi Hukum
Dasar Hukum
Menolak Memberikan Informasi Wajib Buka Setelah melalui proses sengketa di Komisi Informasi (KI) dan KI memerintahkan untuk membuka data, pejabat yang masih menolak dapat dikenakan sanksi pidana ringan. UU No. 14 Tahun 2008 tentang KIP.
Bentuk Pidana Pidana kurungan paling lama 1 tahun dan/atau denda paling banyak Rp 5.000.000,00. Pasal 52 UU KIP.
Tindakan: Pihak yang meminta informasi (Pemohon) dapat mengajukan sengketa informasi ke Komisi Informasi. Jika kepala sekolah kalah, ia terancam sanksi pidana ringan tersebut.
3. Sanksi Pidana (Tindak Pidana Korupsi)
Jika ketidakkooperatifan terbukti bertujuan untuk menutupi penyimpangan dana swakelola (seperti Dana BOS):
Sifat Pelanggaran Sanksi Hukum
Dasar Hukum
Menghambat Penyidikan/Audit Kepala sekolah yang sengaja tidak kooperatif untuk menghalangi proses hukum atau audit dapat dijerat sebagai perbuatan menghalangi proses hukum (Obstruction of Justice). UU No. 31 Tahun 1999 Jo. UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Terbukti Korupsi Jika ketidakkooperatifan disertai bukti adanya kerugian negara (mark-up, pengadaan fiktif, penyelewengan dana), maka proses hukum pidana korupsi akan berjalan, dengan ancaman hukuman penjara dan denda yang jauh lebih berat. UU Tipikor.
Tindakan: Aparat Penegak Hukum (Polisi, Kejaksaan, atau KPK) akan melakukan penyelidikan dan penyidikan.
Secara ringkas, ketidakkooperatifan seorang kepala sekolah (sebagai pejabat publik) dapat berujung pada sanksi administratif (dicopot dari jabatan), sanksi pidana ringan (denda KIP), hingga sanksi pidana berat (penjara Tipikor).
Peran Babinsa dan Bhabinkamtibmas
Peran Bintara Pembina Desa (Babinsa) dari TNI dan Bhayangkara Pembina Keamanan dan Ketertiban Masyarakat (Bhabinkamtibmas) dari Kepolisian Republik Indonesia (Polri) sangat vital dalam konteks pengawasan proyek swakelola, yang berada dilingkungan kerjanya / diketahuinya.
Peran keduanya didasarkan pada Nota Kesepahaman (MoU) antara Kementerian terkait dengan TNI dan Polri, yang bertujuan untuk pencegahan, pengawasan, dan penanganan permasalahan di Lingkungan Kerjanya.
Berikut adalah peran spesifik Babinsa dan Kepolisian (melalui Bhabinkamtibmas) dalam mengawal kegiatan swakelola di tingkat desa:
Peran Kepolisian (Bhabinkamtibmas)
Peran utama Bhabinkamtibmas adalah melakukan pencegahan dan pengawasan yang bersifat kepolisian serta penanganan hukum:
Pengawasan Preventif:
Bhabinkamtibmas bertugas secara aktif melakukan kunjungan dan komunikasi dengan perangkat desa/ kelurahan serta kelompok masyarakat (pokmas) pelaksana swakelola. Tujuannya adalah memastikan penggunaan dana sesuai dengan Rencana Anggaran Biaya (RAB) dan tidak ada penyimpangan.
Edukasi Hukum: Memberikan bimbingan dan penyuluhan di bidang hukum, khususnya tentang risiko dan sanksi tindak pidana korupsi (Tipikor) dalam pengelolaan dana desa.
Fasilitasi Mediasi: Memediasi atau memfasilitasi penyelesaian masalah awal yang timbul di masyarakat terkait pelaksanaan proyek swakelola, seperti perselisihan teknis atau keluhan masyarakat, sebelum masalah tersebut berkembang menjadi tindak pidana.
Penegakan Hukum: Jika ditemukan indikasi kuat adanya penyelewengan dana, Bhabinkamtibmas akan melaporkannya ke Satuan Reserse Kriminal (Satreskrim) di tingkat Polsek atau Polres untuk ditindaklanjuti menjadi proses penyelidikan dan penyidikan tindak pidana korupsi.
Pengamanan Kegiatan: Mengamankan setiap tahapan penting kegiatan desa, seperti penyaluran dana (misalnya Bantuan Langsung Tunai/BLT Dana Desa) dan pelaksanaan proyek fisik.
Peran Babinsa (TNI)
Meskipun secara fungsi utama TNI adalah alat pertahanan, Babinsa dilibatkan dalam pengawasan Dana Desa sebagai bentuk dukungan terhadap program pembangunan dan menjaga ketahanan wilayah:
Pengawalan Pelaksanaan Fisik: Babinsa seringkali terlibat langsung dalam mengawal dan memonitor pelaksanaan proyek fisik swakelola (seperti pembangunan jalan desa, irigasi, atau sarana air bersih).
Mendorong Partisipasi dan Gotong Royong: Mengajak dan memotivasi masyarakat (Pokmas) untuk berpartisipasi aktif dalam kegiatan swakelola (Gotong Royong) sesuai dengan prinsip swakelola yang memaksimalkan tenaga lokal.
Memastikan Kepatuhan Teknis: Memberikan masukan kepada kepala desa / lurah atau tim pelaksana swakelola agar pekerjaan dilaksanakan sesuai dengan perencanaan dan kualitas yang ditetapkan.
Pelaporan Dini: Babinsa memberikan laporan berkala kepada Komando Atas mengenai kondisi sosial dan perkembangan pembangunan di desa, termasuk potensi kerawanan atau penyimpangan dalam pengelolaan dana.
Sinergi: Babinsa bekerja sama dan bersinergi dengan Bhabinkamtibmas dan perangkat desa / kelurahan dalam menjaga stabilitas dan keamanan desa selama proyek berlangsung.
Intinya, Bhabinkamtibmas lebih fokus pada aspek hukum dan keamanan (preventif dan represif), sementara Babinsa lebih menekankan pada aspek pembinaan, pengawalan fisik, dan gotong royong untuk mendukung keberhasilan pembangunan desa.
PERAN MASYARAKAT DAN PEMUDA
Peran masyarakat dan pemuda dalam proyek swakelola sangatlah sentral, karena swakelola, khususnya Tipe III (Organisasi Masyarakat/Ormas) dan Tipe IV (Kelompok Masyarakat/Pokmas), didesain untuk memaksimalkan partisipasi dan pemberdayaan mereka.
Peran Masyarakat (Pokmas/Ormas)
Masyarakat adalah subjek sekaligus pelaksana utama dalam banyak proyek swakelola, terutama yang menggunakan Dana Desa atau program berbasis komunitas.
1. Perencanaan dan Pengambilan Keputusan
Identifikasi Kebutuhan: Masyarakat (melalui musyawarah desa atau forum lainnya) berperan aktif menentukan jenis kegiatan yang paling dibutuhkan, memastikan proyek tepat sasaran dan sesuai konteks lokal.
Penyusunan Usulan: Mereka terlibat langsung dalam menyusun proposal, Kerangka Acuan Kerja (KAK), dan Rencana Anggaran Biaya (RAB) kegiatan.
2. Pelaksanaan dan Kualitas
Pelaksana Swakelola: Masyarakat membentuk Tim Pelaksana Swakelola (Pokmas) dan secara fisik mengerjakan proyek tersebut (misalnya membangun jalan, irigasi, atau fasilitas umum).
Kontrol Kualitas: Sebagai penerima manfaat langsung, masyarakat memastikan kualitas pekerjaan sesuai dengan spesifikasi yang disepakati, mendorong prinsip gotong royong dan kepemilikan.
Penggunaan Sumber Daya Lokal:
Swakelola mensyaratkan penggunaan bahan baku dan tenaga kerja dari lingkungan setempat, sehingga masyarakat berperan sebagai penyedia material dan tenaga kerja yang dibayar (menghidupkan ekonomi lokal).
3. Pengawasan dan Akuntabilitas
Pengawas Internal: Masyarakat berhak membentuk Tim Pengawas Swakelola (Tipe IV) untuk memonitor kemajuan fisik dan keuangan proyek.
Penyampaian Informasi: Mendorong transparansi dengan meminta informasi mengenai anggaran dan laporan pertanggungjawaban kepada pelaksana kegiatan.
Peran Pemuda (Generasi Muda)
Pemuda, sebagai kelompok yang umumnya melek teknologi dan memiliki energi serta idealisme tinggi, membawa peran spesifik yang strategis.
1. Kontrol Sosial Berbasis Teknologi
Monitoring Digital: Pemuda dapat memanfaatkan kemampuan digital mereka untuk memantau data proyek swakelola yang wajib diumumkan di SiRUP LKPP atau papan informasi desa.
Penyebaran Informasi: Menjadi agen penyebar informasi yang transparan mengenai anggaran dan kemajuan proyek melalui media sosial atau platform komunitas.
Pelaporan Cepat: Menggunakan perangkat smartphone untuk mendokumentasikan proyek secara visual (foto/video) dan melaporkan dugaan penyimpangan kepada pihak berwenang (media atau APH) secara cepat dan terstruktur.
2. Peningkatan Kapasitas dan Inovasi
Keahlian Teknis: Jika memiliki latar belakang teknik, akuntansi, atau manajemen, pemuda dapat menyumbangkan keahliannya sebagai anggota tim swakelola, memastikan administrasi dan laporan keuangan dilakukan secara profesional dan akuntabel.
Inovasi Proyek: Mendorong inovasi dalam proyek swakelola, misalnya mengusulkan kegiatan yang berfokus pada teknologi, digitalisasi, atau ekonomi kreatif desa.
3. Penggerak Partisipasi
Aktivasi Komunitas: Memobilisasi dan menggerakkan masyarakat (terutama kelompok usia produktif) untuk terlibat aktif dalam kerja bakti (gotong royong) proyek swakelola, bukan hanya mengandalkan upah.
Pemeran Utama (Tipe III): Pemuda yang tergabung dalam Organisasi Kepemudaan (OKP) atau Karang Taruna dapat menjadi Pelaksana Swakelola Tipe III, mengelola dana secara langsung untuk kegiatan yang memberdayakan, seperti pelatihan atau pembangunan sarana olahraga.
Singkatnya, masyarakat adalah pelaksana dan pengawas fungsional yang memastikan kebutuhan terpenuhi dan kualitas terjamin; sementara pemuda adalah agen kontrol sosial dan inovasi yang mendorong transparansi dan efisiensi melalui alat dan idealisme modern.
TUJUAN PELAPORAN INDIKASI DAN TEMUAN
Tujuan pelaporan temuan dugaan kecurangan dalam proyek swakelola adalah mengaktifkan mekanisme pengawasan dan penegakan hukum yang sesuai.
Secara umum, tujuan pelaporan akan mengarah ke tiga lembaga utama, tergantung pada sifat dan tingkat keseriusan dugaan kecurangan:
1. Tujuan Pelaporan Pengawasan Internal/Administratif
Jika temuan kecurangan masih bersifat dugaan, baru terjadi, atau terkait masalah teknis dan administrasi ringan, tujuan pelaporan adalah agar segera ditangani secara internal dan diambil tindakan korektif.
Lembaga Tujuan Sifat/Tujuan
Laporan Contoh Temuan
Kepala Instansi/Atasan Langsung Tindakan korektif, perbaikan administrasi, dan penjatuhan sanksi disiplin terhadap pejabat (PPK/Tim Swakelola) ASN yang terlibat. Keterlambatan pekerjaan, penyerapan anggaran tidak sesuai jadwal, atau Tim Swakelola tidak transparan (sebelum ada kerugian negara).
Inspektorat Jenderal (Itjen) K/L atau Inspektorat Daerah (Inspektorat Provinsi/Kabupaten/Kota) Audit investigasi internal, perhitungan kerugian negara awal, dan rekomendasi perbaikan sistem. Dugaan mark-up atau pengadaan yang menyalahi prosedur internal.
2. Tujuan Pelaporan Pengawasan Eksternal/Keuangan
Jika temuan sudah mengarah pada potensi kerugian keuangan negara namun belum tentu berujung pidana, tujuan pelaporan adalah untuk memverifikasi dan mengaudit kerugian tersebut.
Lembaga Tujuan Sifat/Tujuan Laporan Contoh Temuan
Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Audit dengan tujuan tertentu (ATT) untuk menghitung besaran kerugian negara/daerah yang pasti, yang hasilnya dapat digunakan sebagai dasar penindakan pidana. Hasil fisik proyek tidak sesuai volume yang dilaporkan, namun diperlukan perhitungan ahli untuk mengetahui nilai kerugiannya.
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)
Penyampaian informasi atau data pendukung yang nantinya dapat memperkuat hasil pemeriksaan BPK (Laporan Hasil Pemeriksaan/LHP). Kerugian negara yang ditemukan saat pemeriksaan rutin (audit reguler).
3. Tujuan Pelaporan Penegakan Hukum (Pidana)
Jika dugaan kecurangan sudah jelas mengarah pada Tindak Pidana Korupsi (TPK) dan melibatkan unsur melawan hukum serta memperkaya diri sendiri/orang lain/korporasi, tujuan pelaporan adalah penindakan hukum.
Lembaga Tujuan Sifat/Tujuan Laporan Contoh Temuan
Kepolisian RI
Bhabinkamtibmas /Polsek /Polres pada Proses penyelidikan, penyidikan, dan penindakan. Penyelewengan Dana Desa yang melibatkan pengeluaran fiktif, pemalsuan kuitansi, atau suap.
Kejaksaan RI (TP4D yang sudah dibubarkan fungsinya tetap melekat pada Kejaksaan) Proses penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan di pengadilan Tipikor. Temuan yang melibatkan pejabat tinggi atau memiliki indikasi kerugian negara yang signifikan.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Penyelidikan kasus-kasus korupsi besar yang melibatkan Aparatur Penyelenggara Negara (ASN), serta melakukan koordinasi dan supervisi (Korsup) dengan APH lain. Dugaan suap, gratifikasi, atau TPK berskala besar yang melibatkan banyak pihak.
Ringkasan Saluran Pelaporan :
Masyarakat dapat menggunakan platform terpusat seperti:
WBS (Whistleblowing System) Instansi: Untuk melaporkan penyimpangan di internal instansi terkait.
Kanal Aduan APH: Langsung ke Polsek/Polres/Kejaksaan/KPK jika yakin ada unsur pidana.
MEDIA MASA / MEDIA ONLINE :
Masyarakat, Pemuda dan individu juga bisa Menyampaikan dugaan temuan penyelewengan atau kecurigaan berdasar kepada media agar dilakukan liputan investigasi dan diangkat ke publik.
kami JURNALIST MEDIA COM siap melaporkan!
Jurnalis Media Com siap melaporkan temuan dugaan kecurangan dalam proyek swakelola, langkah yang perlu JM COM lakukan adalah verifikasi, dokumentasi, dan publikasi, dengan tetap memperhatikan kode etik jurnalistik.
Berikut adalah langkah-langkah yang disarankan untuk memaksimalkan dampak dari pelaporan Anda dan memastikan temuan Anda ditindaklanjuti oleh aparat penegak hukum (APH) dan pengawas:
1. Perkuat Bukti dan Data
Sebelum mempublikasikan, dipastikan telah melakukan verifikasi Akurat dan Berimbang:
Verifikasi Dokumen Akses Publik:
Pastikan Anda telah mendapatkan dan membandingkan semua data yang seharusnya terbuka (dari SiRUP, KAK/ToR, dan RAB jika memungkinkan) dengan realitas di lapangan.
Dokumentasi Lapangan:
Ambil foto atau video kondisi fisik proyek (misalnya, kualitas bangunan yang buruk, volume yang tidak sesuai).
Wawancara Konfirmasi:
Wawancarai pihak-pihak terkait baik secara langsung atau dengan komunikasi bantuan alat komunikasi atau melalui pesan untuk mendapatkan konfirmasi (atau sanggahan) atas dugaan tersebut:
Pihak Pelaksana: (misalnya, Kepala Desa/Kepala Sekolah, Tim Pelaksana Swakelola).
Pihak Pengawas: (misalnya, Inspektorat, Badan Permusyawaratan Desa/BPD).
Pihak Korban/Pelapor: (misalnya, perwakilan masyarakat atau pemuda yang awalnya memberikan informasi).
2. Strategi Publikasi
Publikasi media adalah langkah kontrol sosial yang efektif untuk mendesak APH bergerak:
Fokus pada Kerugian Publik:
Tekankan pada aspek ketidaktransparanan, penggunaan uang negara/rakyat yang tidak efisien, dan dampak negatif terhadap masyarakat.
Jangkau Pihak yang Relevan:
Setelah berita tayang (atau bahkan sebelum rilis press), pastikan temuan Anda secara resmi diserahkan atau diketahui oleh lembaga-lembaga ini:
Pihak yang Perlu Diberitahu Peran Pihak Tersebut dan Tujuannya
Aparat Penegak Hukum (APH) (Polres/Kejaksaan/KPK) Penindakan hukum dan penyelidikan pidana. Agar temuan Anda menjadi dasar dimulainya penyelidikan resmi.
BPKP dan Inspektorat Audit investigasi dan perhitungan kerugian negara. Agar data Anda digunakan untuk menghitung kerugian negara secara formal oleh auditor yang sah.
Atasan Langsung Pelaksana (Misalnya Kepala Dinas/Bupati) Penjatuhan sanksi administratif dan disiplin terhadap pejabat ASN yang terlibat. Mendorong tindakan internal selain proses pidana.
Komisi Informasi (KI) Penanganan sengketa jika temuan kecurangan adalah akibat dari penolakan akses informasi. Memperkuat aspek pelanggaran UU KIP.
3. Tindak Lanjut dan Pengawasan Media
Peran jurnalis tidak berhenti setelah berita tayang, tetapi berlanjut ke pengawalan kasus:
Melakukan Follow-up Berkelanjutan: Terus pantau dan laporkan respons dari APH, Inspektorat, dan pihak pelaksana kegiatan.
Mengawal Proses Audit: Laporkan hasil audit BPKP/Inspektorat yang keluar, yang akan memperkuat posisi APH dalam proses penyidikan.
Mendorong Transparansi: Jika proyek diteruskan, dorong pelaksana untuk meningkatkan transparansi dengan memasang papan informasi proyek yang detail di area tepi jalan umum pada titik pekerjaan***










