Watimpres Dr. H. Adi Warman, S.H., M.H., M.B.A. PAHLAWAN, PENJAHAT DAN TAFSIR KEKUASAAN.

banner 468x60

Vonistipikor.net, JAKARTA- Di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, publik menyaksikan mantan Gubernur Bank Indonesia Burhanudin Abdullah dijebloskan ke penjara karena kasus korupsi dana Yayasan Pengembangan Perbankan Indonesia (YPPI). Putusan pengadilan kala itu seolah menegaskan bahwa hukum telah menemukan jalannya: pelaku kejahatan luar biasa harus mendapat hukuman setimpal.

Namun, sejarah berjalan dengan ironi. Pada masa pemerintahan Presiden Prabowo Subianto, Burhanudin Abdullah justru dianugerahi Bintang Mahaputera. Sebuah tanda jasa negara yang menempatkannya sejajar dengan sosok-sosok yang berhak dimakamkan secara terhormat di Taman Makam Pahlawan Kalibata.

banner 336x280

Pertanyaan pun mengemuka: bagaimana mungkin seorang yang pernah dicap “koruptor” kini diganjar penghargaan kenegaraan?

 

Kebenaran yang Relatif

Kasus ini mengajarkan satu hal penting: di Indonesia, status moral seseorang tidaklah permanen. Label “penjahat” atau “pahlawan” ternyata bergantung pada tafsir kekuasaan. Yang kemarin dianggap melawan hukum, esok hari bisa dipandang sebagai pejuang bangsa.

Dengan kata lain, keadilan yang kita bayangkan sebagai sesuatu yang absolut ternyata sangat relatif—dibentuk oleh kebutuhan politik, kepentingan rekonsiliasi, bahkan konstruksi sejarah yang bisa ditulis ulang sesuai arah angin kekuasaan.

Bahaya Sinisme Publik

Di titik inilah publik menjadi sinis. Jika gelar pahlawan bisa dianugerahkan kepada orang yang pernah divonis korupsi, bagaimana kita meyakinkan generasi muda bahwa korupsi adalah perbuatan tercela? Bukankah pesan yang lebih mudah ditangkap justru: “hari ini bisa dipenjara, besok bisa jadi legenda”?

Sinisme ini berbahaya, karena menumbuhkan relativisme moral. Orang tidak lagi takut dicap “penjahat,” sebab sejarah bisa membalikkan stigma itu ketika politik menghendaki.

Pelajaran untuk Bangsa

Ironi Burhanudin Abdullah adalah cermin bagi kita semua. Pertama, bahwa hukum di negeri ini masih rapuh—mudah ditarik ke sana ke mari oleh tafsir politik. Kedua, bahwa penghargaan negara belum sepenuhnya steril dari kompromi pragmatisme kekuasaan.

Karena itu, bangsa ini perlu membangun standard moral dan hukum yang konsisten, bukan sekadar bergantung pada legitimasi politik sesaat. Gelar pahlawan semestinya lahir dari rekam jejak integritas, bukan semata jasa teknokratis yang kemudian diseleksi dengan kacamata politik.

Definisi pahlawan sejatinya adalah cerminan moral kolektif, bukan monopoli tafsir kekuasaan. Jika tidak, maka sejarah kita hanya akan menjadi panggung di mana para penjahat dan pahlawan bertukar peran sesuai kepentingan penguasa.

Dan pada akhirnya, kebenaran bukan lagi soal nurani, melainkan soal siapa yang sedang berkuasa.-**😭😭😭🇮🇩🇮🇩🇮🇩

 

 

banner 336x280

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *